Too early or late

Pada perjalanan dinas terakhir saya dua minggu yang lalu, saya hampir terlambat naik pesawat. Dan itu terjadi karena saya salah memperkirakan waktu perjalanan. Tidak memperhitungkan kemacetan yang bisa saat parah sekitar jam karyawan pabrik keluar. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, saya tidak ketinggalan pesawat.

Belajar dari kejadian tersebut, pada perjalanan kali ini saya berangkat lebih awal. Kebetulan pekerjaan kantor sedang tidak ada yang mendesak untuk dikerjakan. Eh, ternyata karena berangkatnya masih jauh dari jam bubaran karyawan, lalu lintas lancar banget. Jadilah saya lama menunggu di Bandara Halim yang kecil. Bete sih tapi ya berusaha dinikmati aja.

Saat ini saya kembali harus menunggu cukup lama untuk penerbangan pulang. Kali ini bukan karena terlalu cepat tiba di Bandara, tapi karena pesawatnya mengalami penundaan selama 1 jam. Allah baik banget ya, mengajarkan saya untuk bersabar. Saya biasanya selalu dalam situasi terburu-buru. Entah itu memang benar karakter saya seperti itu atau hanya sugesti belaka. Dulu saya pernah punya mug bergambar shio saya yaitu shio monyet. Di mug itu tertulis sifat shio monyet yang katanya smart tapi suka rushed around quickly.

Yang pasti salah satu karakter jelek yang sedang saya usahakan untuk berubah adalah kebiasaan menunda-nunda. Saya serius mengusahakan ini. Saking seriusnya saya bahkan beli aplikasi untuk menghilangkan kebiasaan jelek ini. Tapi saking sudah akutnya karakter ini, sampai sekarang saya belum mulai menggunakan app ini. Hingga tanpa disadari masa berlakunya sudah habis dan secara otomatis aplikasi ini memperpanjang masa berlakunya dengan tagihan biaya 2x lebih besar. Duh…

Merayakan kehilangan

Mama bagiku adalah nyawa Lebaran dan hari-hari libur atau peringatan lainnya. Beliau selalu yang paling repot menyiapkan segala sesuatunya, terutama makanan. Sukanya repot, begitu biasanya anggapanku. Dan, ya..salah satu keahlian Mama memang memasak. Selain tentu saja kepeduliannya yang tinggi pada hal-hal yang berbau peringatan, entah itu haul (peringatan meninggalnya) Bapak, Ema (nenek), Abah (kakek) dan Mbah.

Lebaran kali ini adalah Lebaran pertama kami tanpa Mama sejak Mama berpulang 82 hari yang lalu. Kami memutuskan untuk berlebaran disini, di rumah peninggalan Mama. Aku tiba disini 2 hari menjelang Lebaran, bersama adik bungsuku, istrinya dan 2 keponakanku. Adikku lainnya yang biasa menempati rumahistrinya ini sudah menunggu kami bersama istrinya.

Sebagai anak tertua, sudah tentu aku menggantikan posisi Mama sebagai perencana dan penyedia hidangan. Beragam rencana sempat hinggap di kepala, tapi yang bisa terealisasi hanya masakan standar Lebaran, yaitu pesor (lontong), sayur godog, semur dan ayam asam manis (yang rencananya mau dipanggang tapi ternyata hanya sampai diungkep dengan bumbunya). Semua ala Betawi, kecuali ayamnya. Berbekal ingatan bagaimana Mama membuat pesor dan , tentu saja, bantuan internet, akhirnya semua bisa tersaji dengan rasa lumayan. Selama ini Mama lah yang menyiapkan semua masakan Lebaran. Kami anak2nya hanya membantu ini itu sesuai suruhan Mama. Belum sempat kuserap semua ilmu Mama dalam memasak.

Perbedaan semakin terasa di hari ini. Hari ini tak ada hantaran makanan dari keponakan atau adik Mama. Pun tak ada tamu berkunjung ke rumah. Kami lah yang berkunjung ke rumah para tetua yang masih tersisa, Amang (adik kandung Mama) dan 2 uwak istri almarhum Kakak Mama. Setelah itu, Lebaran pun “usai”. Kami berganti baju rumah dan leyeh2 dalam suasana sepi. Tidak ada Mama yang cerewet mengingatkan kami untuk makan, dan kerabat yang silih ganti datang berkunjung. Hujan rintik sejak siang masih terus bergemericik di atap. So, here we are in a perfect situation to “celebrate” our loss of Mama.

Dan kematian itu semakin dekat….

Kepergian Mama 46 hari yang lalu membuatku berpikir lebih banyak tentang kematian. Apalagi dalam seminggu terakhir berita kematian orang-orang yang kukenal seperti bertubi-tubi datang. Teman sekantor, eks-teman sekantor dan istri mantan atasanku meninggal secara berturut-turut dalam minggu ini.

Cerita kematian selalu menyesakkan dada bagi kita yang ditinggalkan. Aku pulang ketika mendengar kabar Mama sakit dan berencana tidak akan lama-lama di kampung karena saat dikabari adik, Mama sakit rematik (saja). Tapi ternyata keadaan Mama lebih parah dari kubayangkan. Tetap aku menyangka ini hanya sakit biasa dan Mama akan segera sembuh. Mama pernah mengalami sakit yang lebih parah dan lebih lama dari ini. Ternyata setelah enam hari Mama sakit di rumah, kami harus membawa Mama ke RS dan kemudian pergi dua malam kemudian.

Dua orang teman yang meninggal belum lama ini masih berusia muda, dan tidak mengalami sakit yang lama. Tentu saja hal tersebut meninggal kekagetan bagi kami yang ditinggalkan. Pak Ace, merupakan driver terbaik di tempat kerjaku. Minggu lalu beberapa teman baru saja menggalang dana untuk beliau. Katanya beliau sempat sehat dan akan pulang hari itu dari RS, tapi ternyata malah pulang ke haribaan Tuhannya.

Ms Arty berpulang sehari kemudian. Almarhumah adalah guru yang dulu mengajar di sekolah tempatku bekerja. 10 tahun aku mengenalnya sebagai guru muda yang ceria, peduli dan tegas serta mudah bekerjasama. Baru setahun yang lalu Ms. Arty mengundurkan diri karena memilih menjadi PNS dan ditempatkan di Cirebon. Seorang teman sejawatnya sesama guru Bahasa Inggris bercerita bahwa dua hari yang lalu mereka masih berkomunikasi lewat telepon.

Dari yang kubaca dan dari cerita-cerita biasa kita dengar, ada firasat atau tanda-tanda kematian, baik bagi yang akan meninggal ataupun yang akan ditinggalkan. Saya sendiri jika mendengar suara burung kedasih (cirit uncuing, kata orang Sunda) yang melengking sendu jadi teringat mitos bahwa akan ada kematian di sekitar kita. Meskipun kenyataannya tidak selalu terjadi, tetap saja kicauannya terdengar menyayat hati.

Saya pun tidak merasakan firasat akan ditinggalkan Mama dan sepertinya Mamapun tidak menunjukkan tanda-tanda akan meninggalkan kami semua. Saat sakit, Mama tetap bersemangat untuk kembali sehat. Begitupun dengan cerita teman yang meninggal. Ibu almarhum bercerita bahwa sesaat sebelum meninggal, Ms. Arty masih ngobrol dengan beliau setelah sarapan. Dia hanya mengeluhkan nafasnya yang terasa sesak hingga saat menutup mata, ibu almarhum menyangka Ms Arty hanya pingsan.

Kenyataan itu membuat saya menyadari bahwa tidak semua orang sadar saat akhirnya akan segera tiba. Oleh sebab itu kita harus selalu bersiap dengan amal terbaik yang kita punya. Usia dan kesehatan juga tidak bisa jadi patokan. Meskipun tidak mudah, saya sekarang jadi lebih mawas diri. Saat ada godaan untuk berghibah, meskipun atas nama curhat, saya berusaha keras untuk tidak ikut-ikutan. Saya mulai berusaha lebih keras untuk lebih khusu’ beribadah, pokoknya do the right things lah…Sambil berusaha menyusun dan menyampaikan wasiat untuk keluarga jika suatu saat saya dipanggil keharibaanNya.

Menulis

Saya suka membaca sedari kecil. Mungkin karena (almh) Mama suka membaca dan seringkali bercerita tentang bacaannya jaman dulu. Tapi saat itu kami tidak punya buku atau majalah untuk dibaca di rumah. Mama & (alm) Bapak yang keduanya guru SD sering membawakan kami anak-anaknya buku jika ada buku baru untuk perpustakaan sekolah. Bahkan dulu ada tetangga kami yang juga guru SD juga suka membawakan buku baru dari sekolahnya.

Saat Bapak berlangganan koran, itulah sumber bacaan saya. Awalnya Bapak berlangganan koran Poskota. Maka berita kriminal jadi santapan saya yang saat itu masih kelas 1 – 2 SD. Sebenarnya yang diperuntukan bagi saya itu adalah lembaran bergambarnya, tapi itu tidak cukup. Sebenarnya banyak yang tidak saya mengerti saat itu, tapi tetap saya baca. Misalnya istilah “WTS”. Saya ingat menanyakan artinya ke Mama. Mama yang saat itu sedang tidur-tidur ayam di siang hari sepulang mengajar, menjawab WTS itu singkatan dari wanita tuna susila. Karena tidak mengerti, saya tanya lagi kenapa Mama gak jadi WTS. Mama langsung bangun. 🙂

Kira-kira saya kelas 6 SD atau SMP, Bapak ganti berlangganan koran Kompas. Sumber bacaanku jadi lebih berkualitas. Apalagi di Kompas ada cerita bersambung yang kemudian dicetak jadi novel-novel bagus, seperti Karmila, Canting, Anak Bajang Menggiring Angin, Trilogi Roro Mendut – Lusi Lindri – Genduk Duku sampai cerita terjemahan karya-karya Sydney Sheldon, Jeffry Archer dan lain-lain. Semua sudah kulahap semasa SMP & SMA. Baru di SMA aku membaca novel tebal yang sebenarnya, yaitu Count of Monte Cristo karena saat itu aku sudah jadi anggota perpustakaan Balai Pustaka di Lapangan Banteng.

Di SMA pula saya mulai membaca majalah remaja atau majalah wanita yang kubaca di perpustakaan. Sejak itu saya mulai mencoba menulis selain menulis buku harian yang telah kutekuni sejak SMP. Banyak artikel yang coba kutulis tapi karena kurang PD tidak pernah selesai apalagi dikirim ke media. Padahal tujuan menulis artikel karena ingin mengirimkannya ke majalah-majalah seperti Gadis atau Hai. Di masa SMA mulai coba-coba menulis puisi juga, terutama saat perasaan galau. Satu-satunya tulisan yang sempat dikirim adalah cerita pengalaman menggunakan sabun Ri**o karena berharap dijadikan bahan iklan, eh ternyata cuma dapat balasan terima kasih.

Saat kuliahpun, tidak ada kemajuan yang signifikan. Makin banyak sih percobaan tulisannya, tapi tidak tuntas atau tidak PD untuk dikirimkan. Hanya sekali pernah mencoba mengirimkan tulisan ke majalah Femina untuk rubrik Gado-gado, tapi tidak lolos terbit/tayang. Setelah itu jadi patah arang untuk mengirimkan tulisan ke media. Apalagi cukup banyak tugas penulisan makalah yang sudah cukup jadi pelampiasan minat menulis.

Setelah bekerja dan mengenal dunia maya, saya mengenal blog melalui multiply. Disini jadi mulai sering menulis tentang apa saja. Bebas tidak ada yang menilai. Tapi karena dibaca orang lain, malu dong kalau tidak mengindahkan cara penulisan yang benar atau tema yang menarik untuk ditulis. Setelah Multiply ditutup, aku pindah ke WordPress dan Blogspot. Akhirnya kumulai memisahkan tulisan/catatan pribadi dengan tulisan yang berhubungan dengan profesi atau keilmuan. Tulisan pribadi tetap di sini, sementara blogger untuk tulisan profesional.

Tapi makin lama makin jarang saya menulis di blog. Mulanya masih rajin menulis di note-nya Facebook, tapi juga sekarang sudah tidak pernah lagi. Saat mulai banyak gerakan dan himbauan untuk menulis, saya mulai ingat kebiasaan dan minat menulis yang pernah saya miliki. Saya makin menyadari pentingnya menulis, bisa sebagai cara untuk healing, menuliskan ide-ide yang mungkin tidak bisa saya sampaikan secara lisan atau melatih berpikir secara logis dan teratur. Sepertinya menulis harus dipaksa sebelum jadi kebiasaaan. Saat sedang mencari-cari komunitas atau wadah yang bisa membantu saya mewujudkan itu, saya mengenal bu Hera melalui Heni, teman sesama Pustakawan yang telah lebih dulu menulis. Bahkan Heni sudah menghasilkan beberapa buku. Saya pun bergabung di KMB sebagai upaya saya untuk bisa rajin menulis. Terus terang, sampai saat ini saya masih “terpaksa” menulis, tapi saat sudah mulai menulis tidak ada perasaan terpaksa atau terbebani. Satu hal yang belum bisa saya tulis adalah cerita fiksi. Entah kenapa. Padahal sejak kecil sudah banyak terpaan bacaan fiksi. Kadang di kepala ini suka terbayang potongan kisah yang bisa jadi bahan cerita fiksi, tapi saat mulai akan dituliskan jadi blank sama sekali.

Berproses

Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi rajin ngintip IG-nya Putri Anne, istri Arya Saloka, aktor sinteron yang lagi tenar itu. He he he…emang gara-gara sinetron Ikatan Cinta (IC) ngetop banget, aku jadi penasaran dan ngikutin ceritanya. Mula2 cuma di aplikasi Vision+ eh, akhirnya nonton di TV juga. Tapi sekarang sih udah gak antusias lagi. Lama-lama sinteron itu jadi seperti sinetron lainnya, ceritanya jadi kurang logis dan plotnya berputar-putar supaya tetap tayang. Gara-gara IC ini jadi suka ngintip IG para pemainnya. Jadi tahu shiper pula. Eh, sebenarnya penasaran dengan IC pun gara-gara ada potongan scene suka muncul di feed IG. Mungkin karena akun yang kufollow suka atau mengikuti akun-akun IC.

Kembali ke Putri Anne. Dia dulunya sering main sinetron juga. Tapi setelah menikah dan punya anak, dia memilih untuk jadi ibu rumah tangga yang benar2 IRT, tanpa bantuan pembantu & pengasuh anak. Dia muslimah yang mengenakan jilbab, meskipun ternyata dia baru menjadi muslimah di tahun 2016, sebelum menikah dengan Arya. Ini yang bikin saya salut dan selalu ingin melihat kehidupannya melalui IG nya. Mulanya karena dengar dia suka dibully netizen dan dibanding-bandingkan dengan lawan main Arya, yaitu Amanda Manoppo, yang memang kecantikannya sedang di puncak. Umurnya baru 21 tahun, tapi sudah banyak membintangi film (sinetron) dan iklan. Perannya sebagai Andin, istri Aldebaran yang diperan Arya Saloka, memikat penonton. Cantik secara fisik, juga manis budinya. Meskipun saya tidak mengidolakan (ada kelakukan kesehariannya yg saya tidak suka), saya harus mengakui dia cantik sekali. Tidak jarang penonton yg juga warganet menjodoh-jodohkan mereka di dunia nyata (shiper). Mereka membandingkannya dengan istri Arya sebenarnya, yang ibu rumah tangga. Padahal Putri Anne pun tidak kalah cantik. Dia punya darah bule juga (Norwegia). Selain menjadi ibu rumah tangga, Putri Anne juga kerap mendapat orderan untuk endorse beberapa produk. Bisnis endorse ini memang sedang marak di tengah meningkatnya bisnis online.

Nah, akhir-akhir ini Putri Anne kerap mendapat komentar negatif karena beberapa kali memposting foto dengan memakai jilbab bergaya turban atau yang seperti ciput, yang membuat lehernya kelihatan. Komentar-komentar tersebut memang beragam. Ada yang adem membungkus nasehatnya dengan pujian. Ada yang keras menegur (pake kata “woy”), ada yang cukup bijak memahami bahwa dia sebagai mualaf yang butuh proses untuk menjadi muslimah yang taat. Ada yang menganggapnya bebal, karena sudah beberapa kali dihujat (dikomentari secara negatif) tapi tidak merubah tampilannya. Eh, akhir-akhir ini ada juga komentar yang menyalahkan suaminya yang suka pake celana pendek, sehingga kurang menutup aurat, katanya. Menurut mereka, suaminya aja masih belum bener, apalagi istrinya yang mualaf. Ada-ada aja ya pendapat orang…

Saya termasuk orang yang setuju dengan komentar atau pendapat bahwa Putri Anne masih butuh proses. Saya pun sempat agak kesal, bertanya-tanya kenapa ya dia seakan-akan ingin membantah apa yang dinasehatkan kepadanya. Tapi dari IG story-nya yang memposting terjemahan surat Al Fatihah dan pemahamannya, saya jadi lebih memahami dia. Setiap orang punya pergulatan spiritualnya sendiri. Dia lari ke Al Qur’an ketika menghadapi celaan, menunjukkan bahwa dia tidak bebal. Tapi memang dia baru sampe Al Fatihah “ngaji”nya (untuk masalah ini). Menjadi muslimah, memakai jilbab, membuat orang berharap dia selalu istiqomah dengan tampilan muslimah yang taat. Tapi setiap orang dimana pun level keimanannya pasti mengalami ujian. Tentu saja ujiannya juga berbeda-beda. Netizen kadang terlalu cerewet. Padahal menurutku sudah cukup nasehat yang diberikan. Putri Anne sudah dengar, sudah tahu, tapi dia punya pergulatan spiritual tersendiri, punya alasan sendiri mengapa posting seperti itu. It is between her and her God. Kadang saya pengen ikutan komentar agar netizen yg julid berhenti mengomentari secara negatif. Cara menasehati seperti itu gak akan kena. Bukankah dakwah itu harus dengan hikmah? Apa bisa mengajak kebaikan dengan cara yang menyakitkan?

Saya ingat, saya pun butuh sekitar 3 tahun untuk mau mengikuti perintah berjilbab, bahkan setelah tahu bahwa itu wajib hukumnya bagi muslimah. Teman-teman se-kost mencoba mengajakku. Mulai dari yang ajakan lembut, memberikan ayat-ayat ancaman neraka, hingga tidak mengacuhkan kehadiranku. Hingga akhirnya suatu jawaban atas permasalahan orang lain membuka mata hati dan menggerakkan aku untuk mengenakan jilbab. Jawaban yang diberikan ustad tersebut bukan janji surga atau ancaman neraka, tapi ustad tersebut menekankan bahwa Allah yang Maha Penyayang, akan bisa memahami kesulitan si Mbak yang terpaksa harus membuka jilbabnya saat bekerja. Karena dia sebagai tulang punggung keluarga dan saat itu masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima pemakaian jilbab di kantor. Saya yang tidak mengalami masalah penerimaan, akhirnya malah jadi tergerak untuk memakai jilbab.

Saat ini saya pun sedang berproses dengan hal lain. Berproses untuk menerima bahwa orang lain menganggap saya bersifat sesuatu yang saya rasa saya gak begitu. Katakan lah saya dianggap pelit padahal saya merasa tidak pelit. Sempat terpikir, saya harus bersikap bagaimana agar tidak dianggap begitu? Rasanya saya sudah mengikuti anjuran untuk berinfaq, memberi atau meminjamkan kepada yang butuh bantuan, sesekali mentraktir, dll. Tapi sekarang saya sampai pada pemahaman bahwa saya tidak perlu membuat citra saya baik di mata semua orang. Kalo saya mau berbuat baik, lakukan itu karena Allah. Bukan karena ingin dianggap baik. Saya sedang memproses diri saya untuk menerima anggapan jelek tentang diri saya. I have to admit that it hurts me, coming to someone close to me. But I can’t control other’s mind. It might be true from her/his point of view. All I can do is trying be better and accept me as it is. Proses adalah keadaan yang berubah, berjalan, tidak diam di suatu titik, pasrah. Saya berproses dari sakit hati, healing dan menerima anggapan orang without define me as other think I am.

Saya kira Putri Anne pun sedang berproses dengan keimanannya. Satu hal yg masih saya anggap dia belum keluar dari track adalah di IG story nya dia tidak memposting saat dia tidak berjilbab sama sekali. Sempat terbersit di benak saya agar dia bisa seperti artis lain, misalnya Zaskia Adya Mecca, yang juga berjilbab, ibu rumah tangga tapi tetap stylist. Tapi saya tahu itu itu tidak adil. Mereka tidak sama dan tidak perlu sama. Akhirnya saya cuma bisa mendoakan dia tetap istiqomah dalam kebaikan, meningkat level keimanannya dan sakinah mawwadah warromah pernikahannya. Entah kenapa saya ingin mendoakan orang yang tidak kenal saya. Mungkin karena saya mulai suka dan sayang padanya sebagai sesama Muslimah, yang saya kira sama dengan saya sedang berproses menuju keimanan yang lebih baik. Wallahu ‘alam bissawab.

My life as a Cat Lover

Wah, ternyata gak sadar sudah setahun gak nulis di blog. Padahal pengen, cuma belum bisa ngatur waktu dengan baik. Ada beberapa hal yang berubah sejak setahun yang lalu. Salah satunya adalah bahwa sekarang aku seorang Cat Lover atau setidaknya pengennya sih seperti itu. Dan itu berkat si Cowy.

Sebenarnya dari dulu aku suka kucing, tapi gak pernah ingin memelihara. Si Cowy adalah kucing pertama yang aku pelihara. Mula-mula dia suka datang ke rumah. Dia kucing yang cantik. Warna bulunya putih dengan totol2 hitam seperti warna sapi. Anak-anak sekolah yang suka mainin kucing pun kadang memanggilnya si Sapi. Cowy ini sering takut dan kalah sama kucing lain, makanya sering aku bela kalo ada yang mengganggunya atau ketika berebut makanan. Karena penakut dan warnanya inilah maka kunamakan dia Cowy. Bisa berarti mirip sapi, bisa juga berarti coward alias penakut.Dia juga kucing yang pendiam, jarang mengeong.

Jpeg

Si Cowy

Semula Cowy hanyalah kucing stray, yang sering aku beri dia makan saat datang. Aku mulai menyediakan makan dan memperhatikannya secara secara intensif setelah kutemukan dia pincang karena kakinya patah. Waktu itu aku baru pulang dari bepergian (lupa dari mana) dan menemukan si Cowy datang ke rumah dengan terpincang2. Hingga saat ini, meskipun sudah sembuh kaki depannya terlihat bengkok. Pernah dia kelihatan hamil, tapi entah dimana melahirkannya dan kemana anaknya. Hingga suatu hari dia benar-benar hamil dan melahirkan di rumah. Anaknya 3 ekor. Yang putih kuberi nama Macchiato. Sebenarnya gak benar2 putih, tapi krem seperti susu coklat, dengan warna coklat/hitam di sekeliling telingan dan hidungnya. Waktu baru lahir tampak paling jelek, tapi setelah beberapa minggu, malah jadi yang paling cantik. Yang hitam kuberi nama Coffe. Gak solid hitam sih, perut dan dadanya putih. Yang putih bertotol2 hitam dan yang paling mirip ibunya namanya Moccachino. Senang rasanya melihat mereka tumbuh sehat di kardus yang kusediakan. Merasakan serunya saat mereka belajar makan. Mereka kitten yang lincah. Suka naik dan manjat teralis jendela, bahkan sampai ke lubang angin. Tapi nanti takut turun.

20150828_163425[1]

Jika malam mereka di dalam rumah, tapi siang hari kardus tempat tidur mereka kusimpan di teras belakang. Suatu malam setelah makan, aku lupa belum memasukkan mereka ke dalam. Aku tertidur cepat. Sekitar jam 2 terbangun dan ingat mereka masih di luar. Tapi saat keluar ternyata kardusnya kosong. Pot-2 dekat teras tumpah berantakan. Aku cari2 ternyata mereka ngumpet di tempat pompa air yang tertutup papan. Kubongkar papannya, tapi hanya menemukan si Opi dan Chino. Kucari2 sekitar rumah, tidak juga kutemukan Chia. Mungkin ada yang memangsanya, entah ular atau musang yang beberapa hari sebelumnya lewat dan membuat si Cowy shock ketakutan. Baru kali itu kurasakan sedih yang mendalam kehilangan anak bulu yang cantik itu. Mulanya akau merasa lebay, tapi saat kutanya Ruby temanku yang seorang CL, ternyata hal itu biasa. Ya, aku jadi sering membaca status Ruby di Facebook yang bercerita tentang kucing-kucingnya. Dari situ jadi masuk grup Peduli Kucing. Aku juga sering mengikuti cerita Evi, teman di kost Karang Pola dulu, tentang kucingnya. Aku jadi mengenal para Cat Lover melalui Faceboook. Betapa mereka sering menyelamatkan kucing yang teraniya di jalanan, mengadopsinya dan merawatnya jadi kucing2 yang sehat dan cantik. Sungguh aku ingin bisa seperti mereka.

Aku juga jadi kenal dokter hewan di Cicurug ini. Dia seorang dokter hewan (wanita) muda yang bertugas di Puskeswan Cicurug. Pertama kali menghubunginya karena ada scabies di kupingnya. Ada yang lucu ketika habis diobati dokter. Si Cowy kan belum pernah diobati dan dia cenderung takut dengan orang asing. Jadi saat mau disuntik harus dipaksa. Setelah itu, dia marah. Aku dicuekin. Lapar pun dia gak mau minta makan.

Sekarang Chino dan Opi udah remaja. Sehat,besar dan sudah di-vaksin. Si Opi malah termasuk gendut karena emang dia makannya banyak. Mereka punya seekor adik, yang cantik (padahal jantan). Sebenarnya adiknya 4, tapi yang 2 hilang dan yang 1 meninggal. Yang tersisa diberi nama Cicha, karena dia cantik. Eh, ternyata setelah lebih besar ketahuan bahwa dia cowok…ah, biarlah namanya tetap Cicha…

Cicha cantik kan..?

Cicha cantik kan..?

Oz diary : Part 3 – Foto-foto

Taman

Taman

Burung Ibis banyak berkeliaran

Burung Ibis banyak berkeliaran

Gazebo di taman

Gazebo di taman

Dermaganya sedang ditutp karena akan direnovasi

Dermaganya sedang ditutp karena akan direnovasi

Rumah cantik depan parkir taman

Rumah cantik depan parkir taman

 

 

Sayang…lupa foto kedai/kafe nya. Mau foto pemain musiknya takut mereka gak mau difoto sembarangan, takut melanggar privasi, padahal ternyata mereka gak keberatan

Oz diary : Part 3 – Minggu pertama

Hari ini hari minggu, berarti sudah seminggu saya di Brisbane. Entah kenapa hari ini bawaannya mellow. Kangen keluarga dan teman2. Jalan pagi hari ini pun saya skip. Tapi bukan berarti terus “mlungker” di tempat tidur. Pagi ini aku bersih2 apartemen.

Oh ya, selama di Brisbane aku tinggal di apartemen yang disediakan host-ku, Karen. Letaknya di lantai 2 tepat diatas apartemen Karen. Sewanya per minggu karena untuk jangka pendek, seharga AUD 250 / week. This is one-bedroom furnished apartment. Jadi aku gak perlu bawa perlengkapan apa2 dari rumah. Memang saat datang, aku diperlihatkan isi apartment ini. Lengkap, ada ruang kerja dengan PC. Tapi karena aku bawa laptop, gak pernah kupake. Aku hanya pake koneksi wifi-nya untuk ngenet.

Selain perlengkapan rumah, di sini juga sudah disediakan toiletris dan bahan kebersihan seperti sabun cuci piring, pembersih kamar mandi, dll. Yang gak cuma sabun cuci dan mesin cuci-nya. Di dapur juga sudah tersedia sedikit persediaan makaanan. Ada buah, roti, bumbu dan makanan kalengan. Wah, kupikir Karen baik banget ya, sampe nyedian semua ini untuk saya…Itupun saya masih numpang makan siang dan sore di tempatnya Karen. Tapi ternyata itu gak gratis. Ada bond sebesar AUD 500 yang harus saya bayar bersama biaya sewa minggu pertama. Bond ini selain untuk biaya penyediaan keperluan di apartment juga untuk biaya cleaning-up setelah saya tinggal.

Kalo hari pertama datang sebagian besar kuisi dengan tidur (dari jam 9 pagi baru bangun jam 4 sore), maka hari ke-2 saya diisi dengan belanja dan ke bank. Pertama Karena menunjukkan pertokoan terdekat dimana ada 7dan IGASupermarket. Diseberangnya ada juga supermarket India, tapi Karen gak memperkenalkannya. Pertama2 kami ke 7-Eleven dulu untuk beli Go Card untuk naik kendaraan umum. Lalu kami naik bis ke Chermside, shopping Centre terdekat dimana ada bank untuk aku buka rekening. Layanan di bank ANZ sini ternyata sama aja dengan layanan bank kita, jadi gak ada masalah. Setelah urusan buka rekening beres, kami belanja di Woolsworth.

Karen bilang bahwa sebaiknya aku beli mesin cuci sendiri agar bebas kalo mau nyuci. Maka dia membawaku ke Harvey Norman. Kali ini kita gak naik bis, kata Karen bisa sampe setengah hari kalo pake bis. Kirain jauh, ternyata gak sampe 10 menit udah sampe. Kami milih mesin cuci yang gak terlalu mahal tapi nanti mudah menjualnya lagi, kalo udah pulang.

Klik ini untuk halaman berikutnya.

Oz diary: Part 3 – Minggu pertama (sambungan)

Minggu ini memang programku belum dimulai, tapi Karen sudah memberikan jadwal untukku. Dia juga memberikan beberapa jurnal dan link di internet untuk kubaca dan pelajari. Hadeuh…banyak lho. Udah gitu dia pun membuat workshet untuk memastikan saya dapat menarik pelajaran dari apa yang saya baca.

Saya pun mulai belajar pergi sendiri tanpa didampingi Karen. Pertama ke Chermside. That was easy cos it’s quite close from our place. Then I tried to go further to Holland Park. Hari itu hari Jumat, saya ingin lihat mesjid tertua di Brisbane. Ngecek di translink.com sih, rutenya gak ribet. Cuma perlu ganti bis sekali di Cultural Center Station, turun di perhentian bis di Mt. Gravatt no 34, terus jalan deh… Tapi rada gak yakin juga sih, abis penumpangnya sedikit, terus pada turun di salah satu perhentian. Kirain itu Cultural Centre Station tujuan akhir bis. Ternyata masih jauh, lewat tunnel dan gak berhenti2 sampe City. Masuk kotanya, saya mulai mengenali daerah yang pernah kukunjungi 4 tahun yang lalu. Di tahun 2010 saya pernah ke Brisbane untuk menghadiri IASL Conference. Kami menginap di Edmonton Motel yang dekat dengan wilayah City.

Naik bis berikutnya saya agak bingung juga nih. Daerahnya asing. Saya lihat perhentian busnya pun tidak selalu berurutan. Akhirnya, saya ke Pak supirnya aja bilang bahwa saya mau turun di bus stop no 34. Ternyata ada seorang muslimah asal Bangladesh yang juga mau ke mesjid itu. Kami pun jalan bersama menuju mesjid. Sampe disana dia memisahkan diri. Ya sudah saya sendirian lagi. Ini berlangsung sampe sholat Jum’at selesai. Dan saya pun pulang sendiri dengan rasa agak bingung dan gak yakin dari sebelah mana saya harus naik bis. Udah gitu karena itu public holiday, bis tidak beroperasi sebagaimana biasa. Saya udah coba nyebrang karena secara logika kalo saya mau kembali ke Cultural Center saya naik bis yang arah sebaliknya dari yang awal dong…Tapi halte di seberang ternyata nomornya beda dengan petunjuk dari translink. Ya udah deh, ikuti petunjuk yang ada aja. Setelah lebih dari 30 menit akhirnya bis yang kutunggu tiba. Benar aja bus itu ternyata berhenti di terminal akhir Garden City, bukan ke Cultural Center. Kata supirnya saya harus turun ke bawah ke platform 1 untuk naik bis yang ke CC. Untungnya ada anak muda entah Korean atau Japanese, yang menunjukkan no bis yang harus saya naiki dan perhentiannya. Kebetulan mereka pun naik bis yang sama tapi turun duluan di South Bank. Anak muda yang baik… Ah, saya memang yakin kok bahwa saya akan baik2 saja dan akan ada yang menolong jika saya tidak tahu jalan.

Karen agak kaget waktu saya bilang mau ke mesjid itu sendiri. Dia tahu itu jauh. Dia menawarkan mau mengantar ke mesjid terdekat lain kali. Dia juga menanyakan apa saya perlu waktu khusus setiap minggu untuk ke mesjid. Dia bisa menjadwalkan setiap hari Jum’at saya hanya setengah hari dan sorenya digunakan untuk de-brief kegiatan seminggu dengannya.

Hari Sabtu, Karen mengajak saya ke taman dimana ada pantai dan pertunjukan musik. Kukira itu disekitar South Bank dan mungkin kita bisa lihat Royal Couple (Prince William & Kate Middleton) tapi ternyata bukan. Dia membawaku ke Sandgate Park. Disana ada pantai yang menurut Karen biasa aja, tapi suasana asyik. Disana ada taman, pantai dan dermaga. Yang paling menarik perhatianku adalah rumah disekitar wilayah itu. Kebanyakan rumah lama dengan bentuk rumah panggung. Masih banyak yang terbuat dari kayu di sekitar itu tapi tetap bagus dan kokoh. Di sudut jalan ada kafe, namanya Cafe on the Park. Kami beli makanan disana dan kemudian kita gelar tikar dan kursi lipat menikmati makan siang dan suasana di sekitar. Katanya akan ada pertunjukan musik jam 1 siang, tapi ditnggu belum juga ada. Akhirnya kami berjalan2 ke pantai lalu mampir duduk di kafe karena ternyata live-musicnya ada di sana. Musiknya Jazz enak banget didengerin di suasana yang santai seperti itu. Ternyata pemusiknya teman Karen. Saat istirahat mereka menghampiri meja kami dan ngobrol. Karen mengenalkan saya pada mereka. It was such a nice day…

Foto-fotonya lihat disini ya….

Oz Diary: Part 2 – 7 jam di Singapore

Begitu mendarat di Terminal 3 Changi Airport, sebenarnya gak yakin mau melangkah ke mana. Tapi jalan aja terus, ternyata gak lama sampe di Terminal 2. Menurut informasi yang kubaca, disini nih tempatnya Free Tour. Emang udah direncanain untuk ikut free tour dan explore Changi selama transit di sini. Sialnya catatan hasil browsing yang isinya mau ke mana dan ke arah mana di Changi ini ketinggalan. Untungnya ada booklet informasi tersedia.

Karena sudah jam 2 siang da aku belum sholat zuhur, maka yang pertama dituju adalah mushola atau prayer room. Berbekal booklet tadi, prayer room dapat kutemukan dengan mudah. Bersih tapi agak bau, entah karena lembab atau itu bau sepatu/kaos kaki orang. Tempat wudhunya nyaman dan terpisah, mukena pun tersedia.

Setelah itu daftar untuk ikut Free Tour. Free tour ini berlangsung selama 2 jam. Info lengkapnya ada disini. Petugasnya mintaku menunjukkan paspor dan boarding pass. Jadwal berikutnya adalah yang pukul 4.00 – 6.00 sore. Tapi kami harus siap di depan counter pukul 3.10 untuk mendapatkan stiker. Selama ikut tour ini, peserta tidak diperbolehkan membawa koper (trolley). Mereka akan menyarankan untuk menitipkan tas besar atau koper ke tempat penitipan. Tadinya backpack-ku mau kutitipkan, tapi setelah lihat kok jauh ya?… Takut ketinggalan, aku urung menitipkan tas punggung ini.

Jam 3.10 kita semua dikumpulkan di depan counter, lalu mereka membimbing peserta sampai ke depan imigrasi. Ternyata kita harus melewati pintu imigrasi ini dulu. Setelah itu si petugas menunggu di seberang imigrasi dengan membawa kartu kedatangan yang sudah diisi.

Guide kami seorang Ibu2 yang tadi bertugas di counter. Wah, ternyata si Ibu ini tegas banget. Sebelum naik bus, kami dibriefing tentang apa yang tidak boleh kami lakukan. Peserta tidak diperkenan mengambil foto selama dalam bis, sampai pada waktu yang disediakan. Dia juga menyampaikan bahwa layanan ini tersedia atas sponsor Singapore Airlines dengan tujuan agar peserta datang kembali ke Singapore. Kelihatan sekali dia bangga banget dengan negaranya dengan berkali2 menyebutkan bahawa Singapore adalah negara kaya, aman dan maju. Mana pake menyebut bahwa Singapore saat itu berkabut karena asap kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia lagi…Si Ibu ini juga menegur mereka yang ngobrol selama penjelasannya. Yah, namanya juga gratis, banyak aturan dan pesan sponsornya lah… Termasuk aturan gak boleh makan dan minum di bis, tapi disitu tersedia air minum dalam botol seharga SGD1 untuk yang mau.

Tour ini berhenti di selama 15 menit di Merlion Park. Di sini kita bisa lihat dan foto2 Singpore Flyer, Marina Bay Sand dan Esplane dari kejauhan. Tempat ini rame banget, semuanya pada foto2.

Setelah 15 menit kami kembali ke bis. Tapi rupanya ada yang terlambat sehingga kami menunggu dulu. Kami diantar kembali ke Terminal 2. Selanjutnya mau explore taman2 yang ada di sini. Tapi kok laper ya? Rupanya makan siang di pesawat tadi kurang nampol nih. Aku pun menuju food court yang ada di lantai 3 terminal 2 ini. Lupa apa nama tempatnya, pokoknya aku pilih paket ayam panggang iris yang disajikan bersama salad. Ah saladnya ternyata sedikit banget. Potongan ayamnya gede, sampe susah ngabisinnya. Tapi enak rasanya. Apa karena lagi lapar ya?

Setelah itu lanjut explore garden. Tapi cuma 2 yang ketemu. Pertama , Orchid Garden. Anggrek2nya tertata rapi. Terlalu sempurna menurutku hingga malah terlihat tidak natural. Apalagi dengan cahaya lampunya. Sunflower garden yang ada di lantai 3 berada di luar ruangan. Disini juga bunganya tampak dalam bentuk yang nyaris sempurna. Tapi enak dinikmati karena di luar ruangan dan saat itu sore menjelang matahari terbenam.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Bentuk bunga matahari yang sempurna

 

 

 

 

 

 

 

Tampaknya harus sudah mengakhiri petualangan disini nih… Cari mushola untuk sholat maghrib dan isya, terus menuju Terminal 3 dengan menggunakan sky-train. Dan menunggu waktu boarding. Sayang di terminal 3 ini gak lihat dan gak sempat duduk di kursi pijat. Padahal pegel banget nih…